Cari Blog Ini

Kamis, 01 Juli 2010

Bocah Bertopi Merah Putih
Oleh : Noviar Syamsuryah Samsir
Wajah lugu terpancar dari kiprahnya, sesekali kupalingkan wajahku kearahnya namun tak ada yang berubah. Ia hanya tertunduk dalam diamnya disalah satu gang. Anak itu tampak sangat biasa bahkan terlalu biasa, sejauh ini aku tak pernah peduli dengan hal-hal biasa dan tidak menarik seperti ini namun entah mengapa bocah itu kian menarik perhatianku, pernah suatu ketika saat melintasi gang dan tak mendapati keberadaannya aku mengorbankan waktuku untuk mencari anak kecil polos dengan topi khas merah putihnya itu.
Wajah lugu itu merona dalam pancaran sinar keperakan, dengan sepatunya yang kumal penuh noda serta baju kusut yang senada dengan warna topinya ia menyisiri pasar dan menjajakan kresek serta menawarkan jasanya, kuli angkut. Bocah itu tanpa jenuh dan lelah menjelajahi pasar, menebarkan senyum dan riangnya pada pedagang ataupun orang lainnya dengan bersorak,
“Bu,,,kantong plastiknya bu,,,kantong plastik,,,kantong,,,kantong”
Begitu selesai menjajakan jualannya, ia segera berlalu dalam keriangan atas berhasilnya jualan kantong kreseknya di pasar. Bocah itu tampak sangat senang atas sesuatu yang menurutku biasa saja.
Lagi, kudapati wajah polos itu berdiri disalah satu gang. Tatapannya tajam dan penuh harap, entah apa yang dipikirkan bocah riang itu. Kakinya mulai melangkah setelah cukup lama menghabiskan waktu dalam diam dan senyap. Akhirnya langkahnya berhenti saat mendapati beberapa kumpulan anak yang juga berpenampilan tak lebih baik darinya, segera ia menuju salah seorang kemudian mengambil setumpuk Koran. Anak-anak itu mulai bergerilya dengan tumpukan Koran ditangan mereka, menjajakannya di lampu merah berusaha menawarkan pada sederet kendaraan dijalan dengan berbekal suara lantang.
“Koran,,,Koran,,,Koran,,,korannya Pak,,,”
Tak jarang mereka diacuhkan, meski begitu mereka tak menyerah walau terik matahari mulai serasa membakar kulit, itu hal biasa untuk mereka.
Seharian menghabiskan waktu dalam usaha dan kerja keras, berharap waktu bisa memberi yang terbaik untuk hidup dalam dunia yang luas dan sedikit menekan ini. Bocah bertopi merah putih itu makin tampak lelah dan kumal, langkahnya mulai gontai dan tak seriang pagi. Bersama dengan bocah lainnya mereka menyusuri emperan toko berharap ada tempat untuk bernaung dalam semalam yang melelahkan. Tak peduli seberapa dingin ataupun seberapa banyak nyamuk yang bakal menemani tidur mereka. Sebelumnya mereka membeli nasi bungkus untuk kemudian mereka makan dipinggir jalan, jalan yang begitu benderang oleh lampu-lampu jalan dan kendaraan yang melintas. Malam yang tampak indah dengan hiasan kerlipan bintang.
Waktu tak henti berputar seiring dengan jalannya segala aktivitas makhluk alam, bocah itu bersama teman-temannya mulai menyiapkan diri untuk melawan kerasnya arus kehidupan. Semangatnya kembali seolah pagi membuat satu harapan baru untuknya. Tak lupa ia menuju gang seperti biasanya, duduk termenung dan diam dalam kesenyapan menenggelamkan diri dari hiruk-pikuk kebisingan dunia. Entah magnet apa yang selalu menariknya untuk tidak melupakan gang itu disetiap harinya, sesibuk apapun yang ia kerjakan tak ada alasan untuk tidak mengunjungi gang sempit dipinggir jalan itu.
Bocah bertopi merah putih itu kini mengais rejeki dalam kampus, satu lagi dunia yang penuh cerita. Bersama dengan teman-temannya menjajakan panganan ringan ataupun menjajakan alat tulis. Tanpa perasaan malu mereka berjualan dengan sedikit guyonan dan candaan yang mereka lontarkan pada mahasiswa.
Hari-hari bocah itu dihabiskan dalam usaha mencukupi hidup dan kebutuhannya seorang diri, anak sekecil itu berkelahi dengan waktu berusaha bertahan tanpa melawan. Diam-diam bocah itu sering memperhatikan anak lain yang sebaya dengannya, berjalan riang gembira menenteng tas sekolahan dengan sepatu bersih dan cantik menghias kaki yang dibalut kos putih.
Ditengah kesibukannya seringkali ia mencoba diam-diam masuk ke sekolahan mengintip dari balik ruang kelas dan mengamati proses belajar di sekolah. Bahkan ia pernah diam-diam ikut dalam upacara bendera yang setiap Senin dilaksanakan, meski dengan jarak yang cukup jauh dari barisan. Ia mengerti betul bagaimana menghargai upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih, bocah itu sangat menyukai warna merah putih seperti topi yang setiap hari dikenakannya.
Untuk kesekian kalinya ia berdiam diri disalah satu gang, duduk termenung memainkan kerikil-kerikil yang berhambur tak beraturan dipinggir jalan. Baru aku mengetahui apa sesungguhnya yang dilakukannya selama ini, apa sesungguhnya yang ia harapkan dan ia nantikan selama ini. Gang tempatku melihatnya berdiam diri dalam kehampaan, gang tempat yang harus dikunjunginya setiap hari meski sesibuk apapun adalah tempat dan saksi bisu dimana semua berawal dari kesendiriannya. Gang itulah tempat dimana orangtua yang entah dengan alasan apa meninggalkan bocah itu sendiri dalam dingin malam.
Sekali lagi bocah itu kulihat duduk sendiri disalah satu gang, tempatnya menanti dan berharap suatu saat yang entah kapan orangtuanya akan mengingatnya lagi. Bocah itu memimpikan orangtuanya akan kembali ke gang itu untuk mencarinya, untuk memeluknya, untuk mengecupnya, untuk melihat kerja keras dan usahanya selama ini untuk tetap bertahan hingga kedua orangtuanya menjemput.
Bocah bertopi merah putih itu masih setia menanti ayah dan ibunya, dengan semangat dan senyum polos yang menghiasi wajahnya, ia bertahan melakukan pekerjaannya bersama teman-teman yang juga bernasib tak lebih baik darinya. Bocah bertopi merah putih itu masih akan menjajakan kreseknya di pasar, menjual korannya ditengah terik matahari jalanan dan akan terus bermimpi suatu saat akan berdiri dalam barisan upacara pengibaran bendera Merah Putih.
. Bocah bertopi merah putih bersama kawanannya senantiasa bermain bersama alam, mengarungi jalan raya, menyusuri pasar dan menikmati hiruk pikuk dunia. Dunia yang seharusnya penuh kebahagiaan, tawa dan penuh kasih sayang untuk mereka. Tak ada pilihan bagi mereka selain mencoba lebih dewasa menyikapi hidup, melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk bertahan. Didikan alam membuat mereka jauh lebih kuat dan tegar.
Aku hanya bisa merenung ditengah kedewasaan dan ketegaran bocah-bocah itu, batinku mulai mengusik
“Apa yang sudah kulakukan.”
Aku hanya mampu melihat dan diam-diam memperhatikan keberadaan mereka, tak jarang aku bahkan mengacuhkan dan menjauh dari dunia mereka. Aku hanya bisa mengeluh untuk apa yang tidak kudapatkan, aku hanya bisa marah pada keadaan, aku bahkan masih kekanakan dibanding bocah itu, aku selalu jauh melihat ke atas tanpa berani menengok ke bawah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar