Cari Blog Ini

Kamis, 16 September 2010

Surat Dari Gaza
Oleh : Noviar Syamsuryah Samsir
Assalamu’alaikum
Namaku Khaled al-Durra anak dari Gaza tanah Palestina, tanah yang menjadi pusat konflik Israel-Palestina, tanahku yang berbeda dengan tanah kalian. Tanahku, tanah kami Palestina yang selalu bercahaya, selalu penuh keramaian dan penuh cerita. Aku akan bercerita banyak tentang negriku yang indah untukmu.
Saudaraku, apa kamu mengetahui betapa berbedanya tanah kami dengan tanahmu? Akan kuberi tahu satu rahasia untukmu, apa kamu pernah tahu betapa tanah kami tak pernah kering. Tanah kami selalu basah dan subur, bukan karena disini tempat iklim yang terbaik tapi tanah kami selalu dihujani airmata yang berharga. Air mata orang tua untuk anaknya, airmata istri untuk suaminya, dan air mata anak-anak yang kehilangan ayah ibunya, hampir setiap hari airmata penuh doa itu jatuh menggemburkan tanah kami. Satu lagi, tanah kami tak pernah berhenti dialiri oleh darah pengorbanan, oleh darah orang tua, pemuda bahkan bocah kecil bangsa kami.
Saudaraku, tanahku ini selalu bercahaya oleh kobaran api, disetiap sisi kamu dapat melihat kobaran api yang bergejolak dimana-mana. Menghiasi rumah, sekolah, bangunan, dan lapangan kami. Entah itu pagi ataupun malam disini selalu bersinar diterangi gejolak api yang membara.
Saudaraku, disini penuh dengan keramaian. Kamu akan mendengar dentuman-dentuman yang memekakkan telinga setiap harinya. Gemuruh suara bangunan runtuh serta pekikan teriakan akan selalu menemani hari-hari kami disini. Israel yang menghantarkan jet diudara Gaza dan menghantamkan bom serta torpedonya diatas tanah kami dengan membabibuta seolah tak pernah sekalipun rasa kemanusiaan menghampiri mereka.
Saudaraku, masih banyak cerita tanah kami yang ingin kuutarakan padamu. Tentang perlindungan orang tuaku yang berakhir dengan meregangnya nyawa mereka oleh tembusan peluru tentara Israel yang ingin merampas rumah dan tanah kami. Aku kehilangan satu kaki, kehilangan rumah dan yang pasti yang membuatku sangat pedih karena tentara yahudi la’natullah itu telah membuatku kehilangan orang tua dan keluarga.
Saudaraku, Aku juga kehilangan sahabat, Sayyid dan Anas yang ketika itu mencoba menolongku namun peluru brutal Israel lagi-lagi menghujani tubuh kedua sahabatnya. Entah apa yang terjadi namun atas izin Allah SWT aku masih diberi waktu untuk hidup lebih lama. Aku tak perlu berpikir lebih panjang untuk memikirkan hidupku selanjutnya, karena aku tahu setiap waktu kami disini adalah untuk berjuang di jalan-Nya, untuk menuju satu tujuan menjadi syuhada dan membebaskan tanah kami Palestina. Maka bersama sahabat-sahabatku kamipun mengangkat senjata dan berjuang bersama pasukan Izzuddin Al-Qassam yang merupakan sayap kanan hamas.
Saudaraku, aku masih mengingat jelas setiap kejadian yang merampas keluarga, saudara dan sahabatku. Setiap peristiwa yang begitu menyakiti dan merampas kebahagiaan kami, para orang tua, remaja serta bocah kecil tak berdosa di tanah kami, dalam usia yang masih sangat belia anak-anak bangsa kami harus melihat banyak luka, darah, kematian dan kehilangan besar. Namun, meski begitu apa kamu tahu apa yang ada dalam pikiran anak-anak bangsa kami Palestina? Mereka tidak sedikitpun menyatakan ketakutan dan kemanjaan mereka, mereka telah tumbuh menjadi anak mujahid yang penuh keberanian.
Saudaraku, akan kuberikan contoh kecil padamu. Dialah Hasan Basyir bocah berumur 12 tahun yang mati tertembus peluru serdadu Israel ketika dengan keberaniaanya ia mencoba melempari serdadu-serdadu Israel dengan ketapel dan kerikilnya. Mohammad Natour bocah 11 tahun yang membalur lumpur diwajahnya dan mengangkat bendera Palestina lalu mengatakan “Jika bisa menembak Israel saya tidak ragu-ragu lagi”. Khaled Syahd dan Matar Hamad yang dihujani peluru ketika berusaha mengambil jenazah sepupunya Ihap al-Fatih yang tengah dibiarkan serdadu Israel tergeletak diatas tanah dan tak membiarkan siapapun mengambil jenazahnya. Satu lagi anak Palestina tanah kami yang berumur 13 tahun Arsyid Qadry yang dengan pasti menyatakan diri “Saya juga ingin mati Syahid”.
Saudaraku, aku ingin menangis setiap melihat nyawa saudara dan sahabatku yang berjatuhan, melihat semangat bocah kecil pejuang bangsa kami para mujahid kecil yang kian gagah berlumur darah semangat. Hati ini sakit melihat tanah kami yang perlahan kian dikikis dan dirampas.
Saudaraku, apa kamu tahu berapa banyak kehilangan yang kami rasakan? Kami kehilangan cinta keluarga seperti yang kamu rasakan sekarang, kami kehilangan kebebasan, orang tua kehilangan anaknya, anak kehilangan orang tua dan kerabatnya, kami banyak kehilangan saudara. Tapi yang pasti kami yang masih bertahan akan terus berjuang untuk terus membebaskan tanah kami Palestina.
Saudaraku, aku sudah banyak bercerita tentang tanahku Palestina. Bolehkah aku tahu sedikit tentangmu saudaraku. Saat disini kami tengah berjuang diatas tanah kami apa yang kalian lakukan di tanah kalian? Saat kami berjuang bersama saudara kami apa yang kalian lakukan bersama saudara kalian? Dan saat kami menyaksikan satu persatu pembantaian, ledakan dan kucuran darah dimana-mana, apa yang kalian saksikan disana? Maukah berbagi cerita dengan kami?.
Saudaraku, aku tahu kita terpisah oleh ruang dan waktu, antara kita terbentang daratan dan lautan yang luas. Kita mungkin tak pernah tahu satu sama lain dan kita memang begitu berbeda, kecuali dalam aqidah. Aku selalu berharap dan percaya kalian ada untuk kami, salamku untuk kalian saudaraku.

Assalamu’alaikum
Khaled al-Durra, anak Gaza tanah Palestina

Selasa, 03 Agustus 2010

Teguran Perjalanan
Oleh : Noviar Syamsuryah S
Hampir setengah jam didalam bus yang penuh teriakan dan kegaduhan, berhias udara pengap dan gerah yang membuat peluh kian bercucuran akhirnya buspun melaju dengan kencang membuat angin dengan bebas masuk mengisi udara pengap dalam bus, pandanganku senantiasa mengikuti laju bus dengan perlahan mulai memperlihatkan frame alam yang bergerak cepat dari balik kaca. Sesekali dapat kulihat dengan jelas orang-orang dijalan yang sibuk dengan aktifitasnya, sederetan kendaraan yang tengah sibuk memainkan gas dan pedalnya, anak sekolah yang tengah berkumpul dan berjalan bersama, pertokoan dan pasar yang kian ramai umumnya dipadati ibu-ibu, seorang kakek yang tengah berusaha menyeberang jalan, anak yang menjajakan korannya, serta remaja yang tengah mengolah vocal dan memainkan gitarnya dilampu merah.
“Hmm,,,banyak sekali kehidupan dalam hidup ini.” Gumamku
“Apa,,,tadi kamu bilang apa?” teguran Teguh mengagetkanku, kupikir sedari tadi ia tengah terlelap tidur disampingku.
“Ah,,,kamu ini,,,!”
“Kenapa? Dari tadi kuperhatikan kamu diam saja melihat keluar,,,memang diluar ada apa, bukankah hanya ada jalan?”
“Memang benar,,,”
“Lalu kenapa segitu perhatiannya sampai mengamati begitu tajam dan dalam?”
“Ah tidak,,,hanya saja setiap mengalami perjalanan rasanya ada saja sesuatu yang menggetarkan,,,entah apa namanya.” Aku menjawab pasrah, rasanya memang selalu seperti ini saat aku mengalami perjalanan.
“Apa benar seperti itu?” Teguh menepuk pundakku lalu mencoba melongo kearah jendela disampingku “Wah,,,sepertinya kau ini perasa sekali”
“Begitulah aku,,,apa kamu baru tahu kalau temanmu ini begitu peka?” Aku menepuk-nepuk dada.
“Tapi benar juga.” Teguh bergumam sambil kembali ke posisi duduknya semula lalu menatap kedepan kemudian menoleh kebelakang bus “Yah terkadang perjalanan membuat kita merasa aneh, berbeda sekali saat kita menghabiskan waktu dengan aktifitas seperti biasa dalam ruang berlapis dinding yang kaku dan terbatas, saat kita dijalan pandangan menjadi jauh lebih luas dan ada-ada saja kejadian aneh dan baru yang bakal kita lihat”
“Hmm,,,aku rasa mendengar atau membaca berbeda sekali dengan saat kita melihat langsung, kau tahu rasanya ada getaran aneh saat melihat dengan jelas anak jalanan, pengamen atau pengemis yang tengah bergerilya diatas pijakan aspal yang kian panas”
“Yah,,,banyak hal diluar yang tidak pernah kita rasakan” Teguh kembali melongo kejendela disampingku “Kau lihat itu?” Ia mengarahkan telunjuknya pada suatu proyek bangunan dengan beberapa kuli bangunan yang tengah bekerja, namun seketika lenyap karena bus yang melaju cukup kencang.
“Maksudmu proyek bangunan tadi?”
“Hm,,,kita tidak pernah tahu bagaimana rasanya bekerja seperti itu, meski terik matahari begitu menyengat atau bahkan hujan sekalipun mereka tetap bekerja, harus mengangkat batuan dan pasir yang berat, bergelantungan diatas bangunan dan entahlah apalagi,,,”
“Yah,,,mereka bekerja keras membuat bangunan megah yang mungkin takkan pernah mereka nikmati kelak, hanya akan dinikmati orang-orang besar” ujarku sambil terus menatap keluar seolah sedang menyaksikan frame layar yang bergerak cepat, bisa kulihat pertokoan yang berjejeran dan pepohonan serta sesekali melihat gedung-gedung besar yang berhalaman cukup luas.
“Yahhh,,,semua itu untuk menghidupi kehidupannya,,,” Teguh berbalik menatap seorang ibu yang tengah berusaha membuat anaknya tidur dipangkuannya “Kurasa kita mesti banyak belajar dari,,,,,aaaaa”
“Aaaaaaaaa”
Teguh tidak sempat lagi meneruskan kalimatnya, bus tiba-tiba mengerem dengan tajam membuat kami dan penumpang lain terhempas kedepan dan terpantul kedudukan. Beberapa barang berjatuhan menimbulkan kegaduhan ditambah teriakan seluruh penumpang yang mulai panik.
“Astagfirullah,,,”
“Ya Tuhan,,,ada apa ini,,,?”
Beberapa penumpang tampak sedang beristigfar, beberapa yang lain masih terlihat panik dengan saling mengutarakan komentar dan pertanyaan. Bus berhenti, semua penumpang memandang keluar dan kedepan, beberapa orang pemuda dan para lelaki paruh baya keluar begitupun aku dan Teguh. Sebelumnya aku melihat supir masih duduk memegang setir, wajahnya tampak pucat meski begitu ia mencoba membuka pintu dan turun dari bus tak lupa mengambil botol minumannya. Supir itu kemudian duduk lalu meneguk botol minumannya dengan gemetar.
Sementara beberapa penumpang juga keluar dari sebuah mobil kijang Inova berwarna hitam yang tepat berada hanya kurang lebih dua meter jaraknya dari bus yang kami tumpangi. Beberapa orang juga mulai berkerumun disekitar bus. Semua bernafas lega setelah mengetahui kejadian sesungguhnya, rupanya kedua mobil hampir saja bertabrakan saat mobil kijang hitam itu ingin menyeberang jalan.
“Huff,,,Abdi apa kau tahu satu lagi pelajaran hari ini?” Teguran Teguh mengagetkanku, segera aku berbalik kearahnya sementara ia berdiri kaku menampakkan ekspresi wajah campuran antara tegang panik yang juga ingin tersenyum.
“Apa katamu,,,?”
“Untuk sepersekian detik tadi aku sangat takut hidupku akan berakhir, aa,,a,,aku merasa belum sanggup dan tiba-tiba terpikir olehku betapa hidup ini amat singkat dan tak ada sedikitpun hal berarti yang kulakukan.” Wajah Teguh menjadi lebih pucat, ia segera duduk ditrotoar kemudian menunduk pasrah menatap aspal jalan “Abdi,,,kau tahu aku,,,aku benar-benar takut.”
Aku terdiam sesaat kemudian duduk disamping Teguh, pandanganku kembali menatap dua mobil yang hampir bertabrakan itu dan para penumpang yang tak kalah pucatnya dengan Teguh. Yah,,,tak bisa kupungkiri aku juga merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan Teguh dan aku yakin para penumpang itu juga merasa demikian. Segera aku menepuk pundak Teguh yang masih menunduk.
“Kurasa hidup ini menjadi amat berarti saat kita merasa hampir akan berakhir,,,” Aku menghela napas dalam-dalam kemudian menunduk memerhatikan aspal jalan “Mungkin ini teguran dari Sang Khalik agar kelak kita lebih memahami arti hidup dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang masih diberikan untuk melakukan hal yang lebih baik dan berarti.”
Bus belum berjalan kembali karena supir dan beberapa penumpang masih terlihat shock, penumpang lain juga ikut duduk ditrotoar sementara yang lain menenangkan diri dengan mencari minum. Aku bisa melihat beberapa ibu dengan wajah yang basah oleh airmata. Perjalan ini menambah getaran aneh yang biasa kurasakan.

Rabu, 07 Juli 2010

Suara Malam
Oleh: Noviar Syamsuryah Samsir

Bintang menabur pendar cahayanya
Dalam kerlipan manja yang menghangatkan
Riuh sorakan lembut sang angin menyeruak bersama udara
Dari balik kebisuannya
Malam menyapa dengan gemericik tetes hujan

Malam selalu berteman gelap
Dalam rinainya yang menghujam penat
Menyamarkan sorakan insan yang kian terlelap
Bersama deruh kebisingan siang yang terjaga

Gemuruh permadani alam
Berfluktuasi dalam bingkai waktu
Menyirat lukisan batasan khatulistiwa
Menyeka malam dalam ratujan benang hitam

Malam selalu bersama dingin hawa
Menetralkan jagat raya dari polutan
Bersama asa yang terpendam
Dalam jiwa pemerhati bioma

Malam juga tak ingin sendiri
Menemani alam yang kian maju
Malam merindukan secerca cahaya harapan
Oleh goresan berkas-berkas sinar matahari
Yang memancar dalam keanggunan

Malam ingin bercengkrama banyak
Menyanyikan dendang merdu suaranya
Meski dalam gelap, dingin dan penat
Akan terus terjaga menemani alam
Makassar, 8 Juli 2010

Jumat, 02 Juli 2010

Bosan Aku
Oleh : Noviar Syamsuryah Samsir
Bosan aku berbicara tentangmu
Dalam riuh dan dingin panas
Melambai asa berbalik hampa
Bosan aku berbicara tentangmu
Mengalirkan pilu yang tiada berujung
Menyayat luka sendi-sendi kelabu
Bosan aku berbicara tentangmu
Menukik pendar khatulisiwa yang meronta
Meronta ,,,meronta dan meronta
Mengelupas sebersit asa yang perlahan kau musnahkan
Lagi,,,
Bosan aku berbicara tentangmu
Dalam hujatan yang tak berujung
Dalam amarah penuh gejolak
Dalam tetesan air mata kebencian
Dan,,,
Aku benar-benar bosan mendengarmu
Yang terus menyangkal fakta
Menabur benih kepalsuan
Dalam bingkai ironi
Makassar, 28 Juni 2010

Kamis, 01 Juli 2010

Bocah Bertopi Merah Putih
Oleh : Noviar Syamsuryah Samsir
Wajah lugu terpancar dari kiprahnya, sesekali kupalingkan wajahku kearahnya namun tak ada yang berubah. Ia hanya tertunduk dalam diamnya disalah satu gang. Anak itu tampak sangat biasa bahkan terlalu biasa, sejauh ini aku tak pernah peduli dengan hal-hal biasa dan tidak menarik seperti ini namun entah mengapa bocah itu kian menarik perhatianku, pernah suatu ketika saat melintasi gang dan tak mendapati keberadaannya aku mengorbankan waktuku untuk mencari anak kecil polos dengan topi khas merah putihnya itu.
Wajah lugu itu merona dalam pancaran sinar keperakan, dengan sepatunya yang kumal penuh noda serta baju kusut yang senada dengan warna topinya ia menyisiri pasar dan menjajakan kresek serta menawarkan jasanya, kuli angkut. Bocah itu tanpa jenuh dan lelah menjelajahi pasar, menebarkan senyum dan riangnya pada pedagang ataupun orang lainnya dengan bersorak,
“Bu,,,kantong plastiknya bu,,,kantong plastik,,,kantong,,,kantong”
Begitu selesai menjajakan jualannya, ia segera berlalu dalam keriangan atas berhasilnya jualan kantong kreseknya di pasar. Bocah itu tampak sangat senang atas sesuatu yang menurutku biasa saja.
Lagi, kudapati wajah polos itu berdiri disalah satu gang. Tatapannya tajam dan penuh harap, entah apa yang dipikirkan bocah riang itu. Kakinya mulai melangkah setelah cukup lama menghabiskan waktu dalam diam dan senyap. Akhirnya langkahnya berhenti saat mendapati beberapa kumpulan anak yang juga berpenampilan tak lebih baik darinya, segera ia menuju salah seorang kemudian mengambil setumpuk Koran. Anak-anak itu mulai bergerilya dengan tumpukan Koran ditangan mereka, menjajakannya di lampu merah berusaha menawarkan pada sederet kendaraan dijalan dengan berbekal suara lantang.
“Koran,,,Koran,,,Koran,,,korannya Pak,,,”
Tak jarang mereka diacuhkan, meski begitu mereka tak menyerah walau terik matahari mulai serasa membakar kulit, itu hal biasa untuk mereka.
Seharian menghabiskan waktu dalam usaha dan kerja keras, berharap waktu bisa memberi yang terbaik untuk hidup dalam dunia yang luas dan sedikit menekan ini. Bocah bertopi merah putih itu makin tampak lelah dan kumal, langkahnya mulai gontai dan tak seriang pagi. Bersama dengan bocah lainnya mereka menyusuri emperan toko berharap ada tempat untuk bernaung dalam semalam yang melelahkan. Tak peduli seberapa dingin ataupun seberapa banyak nyamuk yang bakal menemani tidur mereka. Sebelumnya mereka membeli nasi bungkus untuk kemudian mereka makan dipinggir jalan, jalan yang begitu benderang oleh lampu-lampu jalan dan kendaraan yang melintas. Malam yang tampak indah dengan hiasan kerlipan bintang.
Waktu tak henti berputar seiring dengan jalannya segala aktivitas makhluk alam, bocah itu bersama teman-temannya mulai menyiapkan diri untuk melawan kerasnya arus kehidupan. Semangatnya kembali seolah pagi membuat satu harapan baru untuknya. Tak lupa ia menuju gang seperti biasanya, duduk termenung dan diam dalam kesenyapan menenggelamkan diri dari hiruk-pikuk kebisingan dunia. Entah magnet apa yang selalu menariknya untuk tidak melupakan gang itu disetiap harinya, sesibuk apapun yang ia kerjakan tak ada alasan untuk tidak mengunjungi gang sempit dipinggir jalan itu.
Bocah bertopi merah putih itu kini mengais rejeki dalam kampus, satu lagi dunia yang penuh cerita. Bersama dengan teman-temannya menjajakan panganan ringan ataupun menjajakan alat tulis. Tanpa perasaan malu mereka berjualan dengan sedikit guyonan dan candaan yang mereka lontarkan pada mahasiswa.
Hari-hari bocah itu dihabiskan dalam usaha mencukupi hidup dan kebutuhannya seorang diri, anak sekecil itu berkelahi dengan waktu berusaha bertahan tanpa melawan. Diam-diam bocah itu sering memperhatikan anak lain yang sebaya dengannya, berjalan riang gembira menenteng tas sekolahan dengan sepatu bersih dan cantik menghias kaki yang dibalut kos putih.
Ditengah kesibukannya seringkali ia mencoba diam-diam masuk ke sekolahan mengintip dari balik ruang kelas dan mengamati proses belajar di sekolah. Bahkan ia pernah diam-diam ikut dalam upacara bendera yang setiap Senin dilaksanakan, meski dengan jarak yang cukup jauh dari barisan. Ia mengerti betul bagaimana menghargai upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih, bocah itu sangat menyukai warna merah putih seperti topi yang setiap hari dikenakannya.
Untuk kesekian kalinya ia berdiam diri disalah satu gang, duduk termenung memainkan kerikil-kerikil yang berhambur tak beraturan dipinggir jalan. Baru aku mengetahui apa sesungguhnya yang dilakukannya selama ini, apa sesungguhnya yang ia harapkan dan ia nantikan selama ini. Gang tempatku melihatnya berdiam diri dalam kehampaan, gang tempat yang harus dikunjunginya setiap hari meski sesibuk apapun adalah tempat dan saksi bisu dimana semua berawal dari kesendiriannya. Gang itulah tempat dimana orangtua yang entah dengan alasan apa meninggalkan bocah itu sendiri dalam dingin malam.
Sekali lagi bocah itu kulihat duduk sendiri disalah satu gang, tempatnya menanti dan berharap suatu saat yang entah kapan orangtuanya akan mengingatnya lagi. Bocah itu memimpikan orangtuanya akan kembali ke gang itu untuk mencarinya, untuk memeluknya, untuk mengecupnya, untuk melihat kerja keras dan usahanya selama ini untuk tetap bertahan hingga kedua orangtuanya menjemput.
Bocah bertopi merah putih itu masih setia menanti ayah dan ibunya, dengan semangat dan senyum polos yang menghiasi wajahnya, ia bertahan melakukan pekerjaannya bersama teman-teman yang juga bernasib tak lebih baik darinya. Bocah bertopi merah putih itu masih akan menjajakan kreseknya di pasar, menjual korannya ditengah terik matahari jalanan dan akan terus bermimpi suatu saat akan berdiri dalam barisan upacara pengibaran bendera Merah Putih.
. Bocah bertopi merah putih bersama kawanannya senantiasa bermain bersama alam, mengarungi jalan raya, menyusuri pasar dan menikmati hiruk pikuk dunia. Dunia yang seharusnya penuh kebahagiaan, tawa dan penuh kasih sayang untuk mereka. Tak ada pilihan bagi mereka selain mencoba lebih dewasa menyikapi hidup, melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk bertahan. Didikan alam membuat mereka jauh lebih kuat dan tegar.
Aku hanya bisa merenung ditengah kedewasaan dan ketegaran bocah-bocah itu, batinku mulai mengusik
“Apa yang sudah kulakukan.”
Aku hanya mampu melihat dan diam-diam memperhatikan keberadaan mereka, tak jarang aku bahkan mengacuhkan dan menjauh dari dunia mereka. Aku hanya bisa mengeluh untuk apa yang tidak kudapatkan, aku hanya bisa marah pada keadaan, aku bahkan masih kekanakan dibanding bocah itu, aku selalu jauh melihat ke atas tanpa berani menengok ke bawah.

Kamis, 24 Juni 2010



Hidup ini memintamu memilih, yah itulah yang pasti,,,hidup ini penuh dilema dan romansa yang memaksamu untuk tersenyum, sedih, marah dan bahagia,,,hidup ini adalah persaingan,,,saat kita melangkah disisi lain merekapun terjun dalam langkahnya, jika kita tak bisa mengendalikan diri sendiri maka dunia inilah yang akan mempermainkan kita. Jika takut untuk melangkah maka mereka akan meninggalkanmu jauh dalam kenestapaan. Inilah hidup yang penuh tingkatan kasta, membagimu dalam tingkatan peringkat, memisahkanmu dari derajat martabat,,,inikah hidup yang kau maksud?
Hidup ini mengujimu dalam satu kisah, memberikan bayangan-bayangan indah, nasehat yang menyejukkan,,,tidakkah kau sadar,,,? Hidup ini mengisyaratkan seruan untukmu, suara untuk berbagi, bisikan untuk meraih genggaman tangan saudaramu. Hidup ini selalu mencoba menyeru padamu, mendendangkan semangat untuk bersama menilik dan mengkaji makna hidupmu ini,,,.